Senin, 06 Agustus 2012

Memprotes Perlakuan Terhadap Vincent Van Gogh

TEMPO.CO, Yogyakarta- Melihat lukisan perupa Doni Kabo sempat membuat hati bertanya-tanya. Obyek yang dilukis hanya dua macam, yakni kursi dan lemari. Bentuk kursinya pun nyaris sama. Kursi empuk dengan ukiran di tepinya. Apalagi bentuk pintu yang sangat biasa, papan kayu dengan beberapa lekukan disertai pegangan pintu. Kursi-kursi di dalam ruangan.

Beberapa lukisan diberi pemanis, seperti sebuah meja kecil, bulat, dengan telepon putar di atasnya serta pintu-pintu yang menempel pada dinding, dalam kondisi menutup. Belum lagi warna yang diperlihatkan sangat kusam, menunjukkan suasana muram. Warna hijau dan cokelat tua mendominasi semua lukisan itu.

“Saya ingin menggambarkan suasana di rumah sakit jiwa. Muram. Saat masuk, yang banyak kami temukan kursi dan pintu. Begitu terus,” kata Doni Kabo, saat ditemui Tempo, di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu malam 4 Agustus 2012. Pintu-pintu itu menggambarkan kamar pasien, yang selalu tertutup dan terkunci. Sedangkan kursi-kursi merupakan tempat pasien jiwa duduk.

Kabo, demikian sapaan akrab perupa kelahiran Banjarmasin 32 tahun lalu itu, sedang menggelar pameran tunggal. Pameran itu bukan untuk syarat merampungkan pendidikan Pascasarjana Seni Lukis Institut Seni Indonesia, melainkan menggelar karya tunggal selama sepekan sejak 1 Agustus lalu, yang diberi tajuk “Opera Cahaya, Pintu, Kursi”. Karya itu untuk menjawab pertanyaan besar, apa batasan kegilaan dengan seniman? 

Ide itu tercetus dari nasib beberapa perupa Barat, seperti Vincent Van Gogh yang diasingkan di rumah sakit karena dianggap gila. Van Gogh sempat membuat karya Sun Flower justru saat dia dianggap gila. “Apakah (menjadi) seniman itu harus gila?” Kabo bertanya pada tiga bulan lalu. 

Dari situ, dia melakukan observasi dengan metode inklusif, yakni keluar dari studio. Ada dua tempat yang dituju, rumah sakit jiwa Puri Nirmala di Pakualaman dan di Panti Sosial Pemerintah Yogyakarta di Karangkajen. Kedua tempat itu berbeda. Puri Nirmala untuk menampung orang sakit jiwa yang mempunyai keluarga, sedangkan Panti Sosial untuk menampung gelandangan sakit jiwa yang terbuang. “Dari observasi itu, saya menemukan dua hal. Soal inspirasi dan halusinasi. Itu jawabannya,” kata dia. 

Bahwa seniman bekerja untuk mencari inspirasi, untuk menghasilkan karya. Sedangkan orang gila berhalusinasi. “Tidak ada karya seni yang dihasilkan orang gila,” ujar Kabo menjelaskan. 

Hal itu terbukti ketika Kabo menyediakan seperangkat alat lukis untuk pasien RSJ Puri Nirmala. Ada kertas, rayon, pensil warna, kuas, dan cat air. Dengan panduan kepala bangsal sebagai mediator, interaksi pun dijalin. “Saat saya minta pasien menggambar bunga, dia menggambar huruf-huruf. Tapi dia bilang itu bunga,” Kabo mengenang. 

Berbeda dengan di Panti Sosial, Kabo tak mengeluarkan alat lukis lantaran tidak ada interaksi. Sekitar satu bulan, barulah dia mendapat kesimpulan, yang dipertegas dokter rumah sakit jiwa itu, bahwa orang gila tidak bisa menggambar. “Berarti orang yang bisa menggambar tidak bisa disebut gila,” kata Kabo memprotes perlakuan terhadap Van Gogh maupun beberapa seniman lain yang sempat “digilakan”. 

Hasil observasi itu dituangkan di 24 kanvas. Kemudian dipilih delapan karya yang lalu dipamerkan. Jika diamati secara detail, meskipun beberapa lukisan tampak sama, ada yang berbeda pada pigura yang dilukis di tepi lukisan. 

Lukisan berjudul OCPK I (Opera Cahaya Pintu Kursi), misalnya, sama denganOCKP IV, yakni Kabo sama-sama melukis kursi panjang berukir dengan tiga tempat duduk. Pada ukiran pigura OCPK I digambarkan orang tua meniup seruling dan menabuh gendering. Sedangkan pada OCPK IV digambarkan sosok dengan kaki menyatu pada ukiran, berbentuk seperti kelopak bunga tulip. 

Lukisan sebagai pigura merupakan ornamen yang diambil dari kode estetika Grotesque, yakni penggambaran ornamen kegilaan yang berlebihan pada zaman setelah renaisans. 

Kurator pameran, Sudjud Dartanto, mengajak pengunjung untuk tidak semata-mata berhenti memaknai karya Kabo, tetapi harus berpikir kritis untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan. “Seperti, dari mana cahaya itu datang dan menerangi akal? Suasana seperti apa sebelum pintu ditutup? Juga siapa yang duduk di kursi itu?” kata Sudjud. 


PITO AGUSTIN RUDIANA


Dunia Absurditas Kabo



Oleh Yuli Yanti

“Opera Cahaya, Pintu, Kursi”  sebuah tema yang dikonsep oleh perupa Doni Kabo dalam pameran lukisan tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta.  Kabo menggunakan tiga terma, cahaya, pintu dan kursi yang merupakan respon diskursusnya mengenai wacana kegilaan dalam  masyarakat.
Lukisan-lukisan bergambar  pintu, kursi dibingkai dengan warna-warna klasik, terasa dingin, kosong dan sunyi. Deret lukisan diatas kanvas ini adalah  gambaran penghayatan Kabo setelah tiga bulan ia melakukan observasi dan wawancara di rumah sakit jiwa. Apa yang menarik  dari tiga terma yang disuguhkan mahasiswa ISI Yogyakarta ini?

Awalnya konsep Kabo atas cahaya, pintu dan kursi, berangkat dari pertanyaannya tentang konsepsi rumah bagi seseorang. Ia tertarik untuk menjelajahi rumah yang tak lepas dari logika. Hingga  berakhir menjadi satu pertanyaan tentang kedudukan rumah sakit jiwa dalam masyarakat. Dari pengalaman obsevasinya yang liat itu-- muncul ide mempertanyakan soal wacana ‘kegilaan’  tidak mendapat tempat di Akademik Seni.

Kurator Sujud Dartanto yang berkawan dengan Kabo-- sekaligus menjalin diskusi dalam pameran ini  menggunakan wacana ‘kegilaan’ ala Paul Michel Foucault (Madness and Civilization 1961). Foucault seorang ilmuan psikiatri Perancis, selain intelektual, filsuf, sejarawan, kritikus dan sosiolog. Dimana wacana ‘kegilaan’ ternyata adalah produk dari rezim akal (rasionalitas) termasuk didalamnya ilmu pengetahuan yang terlanjur diterima sebagai kebenaran objektif-- yang steril dari kepentingan dan relasi kuasa. Wacana ‘kegilaan’ itu melahirkan disiplin ilmu psikiatri untuk mendefinisikan dan mengontrol tubuh gila.

Kabo merupakan salah satu perupa yang memilki minat terhadap suspensi. Dalam narasi, suspensi hadir sebagai blok kalimat yang membuat pembaca mengalami transformasi emosi. Dari keadaan sedih ke situasi sumringah dan sebaliknya. Sujud  memandang suspensi pada karya Kabo tidak lahir dari satu penghayatan yang kosong dan tak bermakna.

Kabo ada dalam kenyataan objektif, dimana didalamnya pergulatan kebermaknaan terjadi. Kabo juga berada pula dalam ruang, waktu dan historis. Dalam karyanya, realitas dilihat sebagai sebuah opera atau dalam kkhazanah folkore adalah pertunjukkan wayang.

Kembali pada ide Kabo, awal yang absurd  tentang kedudukan rumah sakit jiwa dan wacana ‘kegilaan’ serta seni yang dipersoalkan. Begitupun hubungan imajinasi, inspirasi dan halusinasi. Pameran lukisan Doni Karbo ini berlangsung mulai 1-6 Agustus 2012. “Kabo mengajak kita menikmati suspensi atas Opera Cahaya, Pintu, Kursi dalam bahasa estetik grotesque; mengawinkan dunia alam sadar dan bawah sadar manusia, ”ujar Sujud.

Minggu, 05 Agustus 2012

Pameran Tunggal Doni Kabo

YOGYA (KRjogja.com) - Seniman jebolan Studio Lukis FSRD ITB, Doni Kabo menggelar pameran tunggal ke 9 bertajuk 'Operasi Cahaya, Pintu dan Kursi' di Galeri Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) 1-6 Agustus 2012 dengan menampilkan 8 karya terbaik.

Kurator Pamern, Sudjud Dartanto menjelaskan Doni menampilkan realitas dilihat sebagai opera atau pertunjukan wayang. Selain itu menampilkan visualisasi suspens yang diwakilkan pada tiga terma yaitu cahaya, pintu dan kursi dikonsepsikan secara linier. 

"Tiga terma itu merupakan respons atas pengalamannya dalam menghayati diskursus 'kegilaan' dalam masyarakat. Karya-karya Kabo mengingatkan saya pada bagaimana suspens bisa menjadi hal yang diingini dalan seni rupam" ujarnya di Kotabaru Yogyakarta, Minggu (5/8/2012). (Fir)


http://krjogja.com/read/138288/pameran-tunggal-doni-kabo.kr

1-6 Agustus, Pameran Tunggal "Opera Cahaya Pintu Kursi" Doni Kabo











Reporter: Joe Jogjanews.com - Untuk kesembilan kalinya -tiga kali di Jogja-, seniman Doni Kabo akan menggelar pameran tunggal seni lukis dalam tajuk pameran “Opera Cahaya, Pintu, Kursi” pada Rabu-Selasa (1-6/8) di Bentara Budaya Yogyakarta. Bertindak sebagai kurator pameran adalah Sujud Dartanto. Sebanyak delapan karya akan dipamerkan Doni Kabo.Materi karya yang digunakan dalam karya lukis Doni Kabo adalah cat minyak, teer (bitumen) serta memakai bahandasar aspaltum dengan menggunakan media kanvas. ”Rencana ada delapan karya (yang sudah masuk katalog). Tapi nanti masih mau dilihat alternatif displaynya. Mungkin bisa lebih dari delapan,” terang Doni Kabo, Selasa (31/7). Pameran Seni Lukis “Opera Cahaya, Pintu, Kursi” hadir dari ide dasar yang sekilas tampak absurd yaitu mengenai pertanyaan tentang hubungan antara seni dan persoalan ‘kegilaan’ juga relasi ambiguitas antara pokok inspirasi dan halusinasi. Dari ide dasar itu kemudian Doni Kabo melakukan observasi lapangan. “Saya kerja bareng dari awal bersama kurator, juga sama teman saya Fitri Kristyoarti. Kita pakai metode observasi, inklusif, langsung terjun ke lokasi,” kata seniman kelahiran Banjarmasin ini. Doni Kabo melakukan observasi selama dua hingga tiga bulan ke beberapa pondok pesantren Almunawir Krapyak, Madrasah Masytoh Gamping, Rumah Sakit Jiwa Puri Nirmala serta panti sosial Excode. Dengan pesantren dan Madrasah Aliyah (MA) Almunawir, Doni Kabo melakukan diskusi bersama di Kersan Art Studio. "Kita maju terus agar tidak set back dari gagasan awal,” kata seniman Program Pascasarjana ISI Yogyakarta ini. Kurator pameran, Sujud Dartanto memberi arahan, karya-karya lukis Doni Kabo kali ini adalah karya-karya suspens dalam bahasa estetik mengawinkan dunia alam sadar dan bawah sadar manusia (estetika grotik). - 






http://jogjanews.com/1-6-agustus-pameran-tunggal-opera-cahaya-pintu-kursi-doni-kabo

DONI KABO GELAR OPERA CAHAYA PINTU KURSI DI YOGYAKARTA


Sunday, 05 August 2012
Sebanyak 16 lukisan terpajang di dinding Bentara Budaya dalam pameran bertajuk Opera Cahaya, Pintu, Kursi.Lukisan karya Doni Kabo tersebut memiliki gambar yang terkesan sederhana dibandingkan dengan pameran yang dilakukan perupa pada umumnya.


Biasanya para perupa mengangkat tema-tema sosial, politik, serta gaya hidup untuk dijadikan sebagai sebuah karya. Namun Doni justru memiliki pandangan lain. Perupa asal Banjarmasin itu, justru lebih memilih objek yang ada di sekelilingnya sebagai bahan pameran, seperti pintu,kursi,dan lampu. Kabo-sapaan akrabnya menuturkan,beberapa objek lukisan yang disajikan itu tercetus dari konsep bahwa seni rupa sejatinya adalah seni penghayatan.Artinya, kata dia,untuk membuat suatu karya lukis setiap perupa harus mampu menghayati setiap objek yang ada di sekelilingnya tanpa harus membuat suatu konsep yang terkesan rumit. 

“Objek apa pun di sekeliling kita tentu bisa diangkat menjadi sebuah karya seni,”kata dia,di selasela pameran,kemarin. Objek terdekat itu yang menjadi perhatian Kabo. Seperti rumah,selain berfungsi sebagai tempat berlindung dari panas serta hujan, rumah juga merupakan tempat beristirahat dan menjalankan pekerjaan domestik lainnya.Namun,konsep rumah tersebut tidak sebatas merupakan rumah sebagai tempat tinggal.Melainkan rumah dalam konsep lebih luas yakni rumah sakit jiwa. 

Sebelum melaksanakan pameran,Kabo melakukan penelitian di salah satu rumah sakit di Yogyakarta.Dari hasil pengamatannya,dia mendapat fakta bawa di setiap ruangan pasti memiliki pintu, lampu,serta kursi. Hasil pengamatannya itu, lantas ditransformasikan ke sebuah karya seni lukis.Namun, tiga wujud itu tidak lantas persis ia gambarkan ke dalam karyanya.Dia lebih menggambarkannya dengan bahasa estetik grostesque, sebuah genre lukis yang lahir pada era The Age Of Reason. 

Dalam karya lukisan ini terlihat kental nuansa klasik lukisan miliknya.“Frameini sengaja saya masukkan untuk menambah kesan klasik dalam setiap karya lukis saya,”ucapnya. Melalui pameran yang dipersiapkan selama hampir dua bulan itu,Kabo,seolah memberikan wacana baru terhadap dunia seni rupa di Yogyakarta,bahwa setiap objek yang berada di sekeliling bisa diangkat sebagai sebuah tema pameran. 

“Sejak awal 90-an seni rupa berbasis penghayatan telah tergantikan dengan kontemporer seiring dengan majunya perkembangan seni rupa di Yogya bahkan di Indonesia,”katanya.


 WINDY ANGGRAINA Yogyakarta 
Seputar Indonesia


Jumat, 03 Agustus 2012

Doni Kabo Pamerkan Karya di Bentara Budaya







TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Pameran Tunggal Seni Lukis Doni Kabo yang bertajuk “Opera Cahaya, Pintu, Kursi” dipamerkan di rumah galery Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), mulai Rabu (1/8/2012) hingga (6/8/2012). 

Pameran yang di selenggarakan oleh perupa tunggal yang mempunyai minat besar pada perihal suspens atau dalam bahasa narasinya kalimat yang membuat pembaca mengalami transformasi emosi dari keadaan sedih ke situasi sumringah dan sebaliknya ternyata terinspirasi dari renungan dan observasinya pada masa pra-pameran, dengan bermula dari pertanyaa-pertanyaan awal mengenai konsep rumah dan arti rumah bagi seseorang, sampai dengan hal yang paling kecil dalam penamaan istilah “rumah” ialah “rumah sakit jiwa”.

Di ambil dari nama “rumah sakit jiwa’, Doni Kabo tertarik dengan pada wacana “kegilaan”, yang menjadi bahan diskusi dalam inspirasi dah halusinasinya untuk berkarya di pamerannya kali ini. Hingga ada satu kutipan yang di ambil Kabo “dimana sebuah karya seni hadir, maka kegilaan tidak pernah ada” (Michel Foucault, “Madness and Civilization” (1961). Kabo mengajak penikmat pameran untuk menikmati suspens atas Opera Cahaya, Pintu, Kursi dalam bahasa estetik grotesque dari berbagai symbol visual yang di gunakan. Dengan membangun pertanyaan-pertanyaan untuk memperpanjang suspens pada diri penikmat karya-karyanya. (M3)