TEMPO.CO, Yogyakarta- Melihat lukisan perupa Doni Kabo sempat membuat hati bertanya-tanya. Obyek yang dilukis hanya dua macam, yakni kursi dan lemari. Bentuk kursinya pun nyaris sama. Kursi empuk dengan ukiran di tepinya. Apalagi bentuk pintu yang sangat biasa, papan kayu dengan beberapa lekukan disertai pegangan pintu. Kursi-kursi di dalam ruangan.
Beberapa lukisan diberi pemanis, seperti sebuah meja kecil, bulat, dengan telepon putar di atasnya serta pintu-pintu yang menempel pada dinding, dalam kondisi menutup. Belum lagi warna yang diperlihatkan sangat kusam, menunjukkan suasana muram. Warna hijau dan cokelat tua mendominasi semua lukisan itu.
“Saya ingin menggambarkan suasana di rumah sakit jiwa. Muram. Saat masuk, yang banyak kami temukan kursi dan pintu. Begitu terus,” kata Doni Kabo, saat ditemui Tempo, di Bentara Budaya Yogyakarta, Sabtu malam 4 Agustus 2012. Pintu-pintu itu menggambarkan kamar pasien, yang selalu tertutup dan terkunci. Sedangkan kursi-kursi merupakan tempat pasien jiwa duduk.
Kabo, demikian sapaan akrab perupa kelahiran Banjarmasin 32 tahun lalu itu, sedang menggelar pameran tunggal. Pameran itu bukan untuk syarat merampungkan pendidikan Pascasarjana Seni Lukis Institut Seni Indonesia, melainkan menggelar karya tunggal selama sepekan sejak 1 Agustus lalu, yang diberi tajuk “Opera Cahaya, Pintu, Kursi”. Karya itu untuk menjawab pertanyaan besar, apa batasan kegilaan dengan seniman?
Ide itu tercetus dari nasib beberapa perupa Barat, seperti Vincent Van Gogh yang diasingkan di rumah sakit karena dianggap gila. Van Gogh sempat membuat karya Sun Flower justru saat dia dianggap gila. “Apakah (menjadi) seniman itu harus gila?” Kabo bertanya pada tiga bulan lalu.
Dari situ, dia melakukan observasi dengan metode inklusif, yakni keluar dari studio. Ada dua tempat yang dituju, rumah sakit jiwa Puri Nirmala di Pakualaman dan di Panti Sosial Pemerintah Yogyakarta di Karangkajen. Kedua tempat itu berbeda. Puri Nirmala untuk menampung orang sakit jiwa yang mempunyai keluarga, sedangkan Panti Sosial untuk menampung gelandangan sakit jiwa yang terbuang. “Dari observasi itu, saya menemukan dua hal. Soal inspirasi dan halusinasi. Itu jawabannya,” kata dia.
Bahwa seniman bekerja untuk mencari inspirasi, untuk menghasilkan karya. Sedangkan orang gila berhalusinasi. “Tidak ada karya seni yang dihasilkan orang gila,” ujar Kabo menjelaskan.
Hal itu terbukti ketika Kabo menyediakan seperangkat alat lukis untuk pasien RSJ Puri Nirmala. Ada kertas, rayon, pensil warna, kuas, dan cat air. Dengan panduan kepala bangsal sebagai mediator, interaksi pun dijalin. “Saat saya minta pasien menggambar bunga, dia menggambar huruf-huruf. Tapi dia bilang itu bunga,” Kabo mengenang.
Berbeda dengan di Panti Sosial, Kabo tak mengeluarkan alat lukis lantaran tidak ada interaksi. Sekitar satu bulan, barulah dia mendapat kesimpulan, yang dipertegas dokter rumah sakit jiwa itu, bahwa orang gila tidak bisa menggambar. “Berarti orang yang bisa menggambar tidak bisa disebut gila,” kata Kabo memprotes perlakuan terhadap Van Gogh maupun beberapa seniman lain yang sempat “digilakan”.
Hasil observasi itu dituangkan di 24 kanvas. Kemudian dipilih delapan karya yang lalu dipamerkan. Jika diamati secara detail, meskipun beberapa lukisan tampak sama, ada yang berbeda pada pigura yang dilukis di tepi lukisan.
Lukisan berjudul OCPK I (Opera Cahaya Pintu Kursi), misalnya, sama denganOCKP IV, yakni Kabo sama-sama melukis kursi panjang berukir dengan tiga tempat duduk. Pada ukiran pigura OCPK I digambarkan orang tua meniup seruling dan menabuh gendering. Sedangkan pada OCPK IV digambarkan sosok dengan kaki menyatu pada ukiran, berbentuk seperti kelopak bunga tulip.
Lukisan sebagai pigura merupakan ornamen yang diambil dari kode estetika Grotesque, yakni penggambaran ornamen kegilaan yang berlebihan pada zaman setelah renaisans.
Kurator pameran, Sudjud Dartanto, mengajak pengunjung untuk tidak semata-mata berhenti memaknai karya Kabo, tetapi harus berpikir kritis untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan. “Seperti, dari mana cahaya itu datang dan menerangi akal? Suasana seperti apa sebelum pintu ditutup? Juga siapa yang duduk di kursi itu?” kata Sudjud.
PITO AGUSTIN RUDIANA