TEMPO Interaktif, Jakarta -
“Bukannya kebetulan, Nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu, kau diharap berlaku dan bersikap sumarah. Pasrah dan menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diam saja, Nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak mengerti, Nduk. (hlm.10).”
Kalimat yang dikutip dari novel Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk (1975), itu tertulis di atas kanvas putih berukuran 100x150 sentimeter. Ditulis perupa muda berusia 32 tahun, Donikabo. Kanvas itu diapit dua lukisan bergambar sosok perempuan bermuka muram.
Berkerudung dengan gelang dan arloji melingkar di kedua tangan, wajah perempuan itu terlihat benar-benar sumarah. Pasrah dan menyerah. Seperti ekspresi yang ditampilkan, Donikabo memberi kedua judul lukisannya itu Tidak Sumarah I dan II.
Kedua sosok wanita dalam kedua lukisan itu adalah sosok yang sama. Hanya pose tubuhnya saja yang membedakan. Tidak Sumarah I menggambarkan sosok perempuan setengah badan. Dia sedang bertopang dagu dengan tangan kanan dan tatapan matanya kosong. Entah apa yang sedang terpikir di benaknya.
Pada Tidak Sumarah II, sosok perempuan itu terlihat meletakkan kepalanya di atas meja. Berbantal sebelah tangan, satu tangan yang lain telapaknya tertindih dagu. Lagi-lagi, ekspresinya tak kalah menyerah dengan lukisan pertama, Tidak Sumarah I. Matanya masih tetap kosong memandang.
Dipamerkan di Sangkring Art Project Yogyakarta, 12-20 Mei 2011, empat lukisannya yang lain pun menampilkan ekspresi yang sama dengan sosok perempuan yang sama pula. Semuanya terlukis dalam dua warna. Hitam dan putih. Masing-masing lukisannya yang hampir berukuran sama itu diatur tergantung dan dipisahkan kanvas putih bertuliskan nukilan kalimat yang diambil dari novel Sri Sumarah dan Bawuk.
“Ini adalah interupsi saya terhadap Sumarah yang kini murung,” kata Donikabo, di sela-sela pembukaan pamerannya, Kamis, 12 Mei 2011 malam kemarin. Dia mengaku terinspirasi kepribadian Sri Sumarah dalam novel Umar Kayam dan mengangkatnya menjadi tema pameran tunggalnya itu.
Seperti makna dari namanya, sumarah (bahasa Jawa), Sumarah adalah sosok perempuan yang penuh sifat pasrah. Dalam tiap lukisannya, Donikabo menampilkan Sumarah berkeredung, sebagai cermin kepasrahan diri perempuan yang bersandar pada atribut keagamaan.
Mengambil latar belakang Indonesia di tahun 1965, dikisahkan Sumarah adalah sosok perempuan Jawa yang tegar menjalani kehidupan. Satu persatu derita hidup menyapa, dia tetap pasrah menjalani.
Pasrah dijodohkan dengan Mas Marto lantas ditinggal mati lelaki yang belakangan menjadi suaminya itu. Dengan kondisi itu, dia harus banting tulang menghidupi Tun, buah hatinya.
Derita tak berakhir di sini. Setelah besar, Tun ternyata diketahui hamil di luar nikah lantas menikah dengan Yos yang dibunuh karena dituding terlibat PKI. Tun pun ditahan. Dan kini, tinggallah Sumarah yang harus menanggung penghidupan Ginuk, cucunya. Semua derita hidup, dilalui Sumarah dengan senyum.
Pembaca karya Donikabo, Hendra Himawan, mengatakan Donikabo mencoba memaknai ulang Sumarah yang disebutnya sebagai cermin kepribadian perempuan Jawa. Di mana sebagai seorang perempuan, ibu dan manusia biasa, Sumarah dipaksa tersenyum dalam berbagai kondisi oleh lingkungan. “Ada ketegangan-ketegangan yang tergambar dalam Sumarah,” kata dia.
Donikabo, kata Hendra, memang terinspirasi dari Sumarah karya Umar Kayam. Realitas Sumarah itu lantas direnungkan sesuai pengalaman hidupnya. "Kabo dibesarkan oleh ibu yang single parent," kata Hendra bercerita.
Melalui Sumarah dan pengalaman hidup yang dialaminya, Donikabo lantas membandingkan dengan kondisi perempuan dalam masyarakat saat ini. “(perempuan) harus tersenyum meski sedih, jatuh, tapi harus bangun, hingga menyerah atau bertahan,” kata dia.
Maka membaca realitas perempuan saat ini tak bisa hanya sepotong, seperti membaca karya Donikabo yang dipamerkan. “Karena itu satu kesatuan,” kata dia.
ANANG ZAKARIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar