Senin, 16 Mei 2011

Kini, Sumarah Lebih Murung


TEMPO Interaktif, Jakarta -


“Bukannya kebetulan, Nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu, kau diharap berlaku dan bersikap sumarah. Pasrah dan menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diam saja, Nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak mengerti, Nduk. (hlm.10).” 


Kalimat yang dikutip dari novel Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk (1975), itu tertulis di atas kanvas putih berukuran 100x150 sentimeter. Ditulis perupa muda berusia 32 tahun, Donikabo. Kanvas itu diapit dua lukisan bergambar sosok perempuan bermuka muram. 


Berkerudung dengan gelang dan arloji melingkar di kedua tangan, wajah perempuan itu terlihat benar-benar sumarah. Pasrah dan menyerah. Seperti ekspresi yang ditampilkan, Donikabo memberi kedua judul lukisannya itu Tidak Sumarah I dan II. 

Kedua sosok wanita dalam kedua lukisan itu adalah sosok yang sama. Hanya pose tubuhnya saja yang membedakan. Tidak Sumarah I menggambarkan sosok perempuan setengah badan. Dia sedang bertopang dagu dengan tangan kanan dan tatapan matanya kosong. Entah apa yang sedang terpikir di benaknya. 

Pada Tidak Sumarah II, sosok perempuan itu terlihat meletakkan kepalanya di atas meja. Berbantal sebelah tangan, satu tangan yang lain telapaknya tertindih dagu. Lagi-lagi, ekspresinya tak kalah menyerah dengan lukisan pertama, Tidak Sumarah I. Matanya masih tetap kosong memandang. 

Dipamerkan di Sangkring Art Project Yogyakarta, 12-20 Mei 2011, empat lukisannya yang lain pun menampilkan ekspresi yang sama dengan sosok perempuan yang sama pula. Semuanya terlukis dalam dua warna. Hitam dan putih. Masing-masing lukisannya yang hampir berukuran sama itu diatur tergantung dan dipisahkan kanvas putih bertuliskan nukilan kalimat yang diambil dari novel Sri Sumarah dan Bawuk. 

“Ini adalah interupsi saya terhadap Sumarah yang kini murung,” kata Donikabo, di sela-sela pembukaan pamerannya, Kamis, 12 Mei 2011 malam kemarin. Dia mengaku terinspirasi kepribadian Sri Sumarah dalam novel Umar Kayam dan mengangkatnya menjadi tema pameran tunggalnya itu. 

Seperti makna dari namanya, sumarah (bahasa Jawa), Sumarah adalah sosok perempuan yang penuh sifat pasrah. Dalam tiap lukisannya, Donikabo menampilkan Sumarah berkeredung, sebagai cermin kepasrahan diri perempuan yang bersandar pada atribut keagamaan. 

Mengambil latar belakang Indonesia di tahun 1965, dikisahkan Sumarah adalah sosok perempuan Jawa yang tegar menjalani kehidupan. Satu persatu derita hidup menyapa, dia tetap pasrah menjalani.

Pasrah dijodohkan dengan Mas Marto lantas ditinggal mati lelaki yang belakangan menjadi suaminya itu. Dengan kondisi itu, dia harus banting tulang menghidupi Tun, buah hatinya. 

Derita tak berakhir di sini. Setelah besar, Tun ternyata diketahui hamil di luar nikah lantas menikah dengan Yos yang dibunuh karena dituding terlibat PKI. Tun pun ditahan. Dan kini, tinggallah Sumarah yang harus menanggung penghidupan Ginuk, cucunya. Semua derita hidup, dilalui Sumarah dengan senyum. 

Pembaca karya Donikabo, Hendra Himawan, mengatakan Donikabo mencoba memaknai ulang Sumarah yang disebutnya sebagai cermin kepribadian perempuan Jawa. Di mana sebagai seorang perempuan, ibu dan manusia biasa, Sumarah dipaksa tersenyum dalam berbagai kondisi oleh lingkungan. “Ada ketegangan-ketegangan yang tergambar dalam Sumarah,” kata dia. 

Donikabo, kata Hendra, memang terinspirasi dari Sumarah karya Umar Kayam. Realitas Sumarah itu lantas direnungkan sesuai pengalaman hidupnya. "Kabo dibesarkan oleh ibu yang single parent," kata Hendra bercerita. 

Melalui Sumarah dan pengalaman hidup yang dialaminya, Donikabo lantas membandingkan dengan kondisi perempuan dalam masyarakat saat ini. “(perempuan) harus tersenyum meski sedih, jatuh, tapi harus bangun, hingga menyerah atau bertahan,” kata dia. 

Maka membaca realitas perempuan saat ini tak bisa hanya sepotong, seperti membaca karya Donikabo yang dipamerkan. “Karena itu satu kesatuan,” kata dia. 

ANANG ZAKARIA



Minggu, 15 Mei 2011

Menyelami Figur Perempuan 'Sumarah'nya Doni Kabo

*BANTUL (KRjogja.com)* - Seniman muda asal Banjarmasin lulusan Pasca Sarjana Seni Lukis ISI Yogyakarta, Doni Kabo kembali menggelar pameran tunggulanya bertajuk 'Sumarah' di Sangkring Art Project (SAP) sejak 12 hingga 20 Mei 2011 mendatang . Belasan lukisan dihadirkan Doni Kabo sebagai wujud problematikan dan peran ganda seorang perempuan dengan segala bentuk kepasrahannya. Kurator pameran ini, Hendra Himawan mengungkapkan karya-karya yang dihadirkan dalam pameran ini mengungkapkan dilema perempuan yang seakan tertangkap lugas. Problematika diri ketika dihadapkan pada pilihan antara bekerja dan mengurusi buah hati dihadirkan dalam kadar yang sangat kuat. "Bagaimana jarak yang hadir diantara dua objek meluali figur perempuan dan dot tersebut, memicu perhatian kita untuk melihat dilema itu sebagai sebuah realita yang nyata hadir, sebuah pilihannyang berat tentunya," ujarnya di Sangkring Art Project Galery, Jalan Nitiparayan Bantul, Yogyakarta, Rabu (18/5).

Hendra menjelaskan disatu sisi ia harus bekerja mencari kaleng susu buat anaknya, di sisi lain buah hatinya menuntut tanggung jawab seorang ibu. Dualisme peran inilah yang memungkinkan lahirnya gesture maupun atribut yang mencerminkan identitas tertentu. Singlemother, mungkin adalah identitas yang dapat kita sematkan pada figur karya-karya ini. "Perempuan itu tampak begitu mencermati dot bayi dihadapannya yang mengisyaratkan sebuah intensitas perhatian yang begitu kuat diantara keduanya, namun terdapat jarak diantara keduanya. Membaca gerak dan narasi emotic yang dihadirkan, keberadaan kerudung yang dikenakan sang perempuan sesungguhnya merupakan bentuk ke'sumarah'an dirinya yang berarti kepasrahan atau menyerah. Menyerah disini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak," paparnya. Dalam karya-karya ini, Hendra mengatakan kerudung menegaskan dirinya menjadi simbol kepasrahan diri perempuan yang bersandar pada atribut keagamaan.

"Memandang semua karya Doni Kabo ini, kita diajak untuk menyelami dunia ambang figur perempuan yang dihadirkan merupakan individu yang berada dalam wilayah liminal dari dua dunia yang mereka geluti, baik dunia kultural maupun dunia sosial," urainya. Hendra menambahkan liminalitas dihadirkan Kabo begitu kuat dimana ambiguitas 'Sumarah' dan paradoks antara ibu yang merupakan seoarang perempuan karier dengan bayinya yang disubsitusikan dengan dot dipaparkannya dalam narasi karya-karyanya. 

Beragam atribut yang disematkan dalam figur perempuan dalam karyanya menyiratkan wajah dunia liminal dengan visualitas karya yang monokromatik yang mengesankan labilitas dan keraguan, merupakan citra kuat akan liminalitasnya. Meski ranah liminal yang dihadirkan Kabo dengan tensi yang sangat kuat dengan memndang secara keseluruhan karya-karyanya, pengunjung dapat merasakan struktur narasi kehidupan yang membuat peristiwa dibelakangnya, terkesa rumit namun menjadi dapat dipahami karena dalam tataran dan bingkai simbolis narasi ini dapat mengikuti garis-garis penalaran yang berada pada tataran nisdar sekalipun. Ksatuan tematik hadir dalam masing-masing karya, kesinambungan yang diusung dan keselarasan makna hidup menjadi landasan spiritual tergelarnya pameran kali ini. *(Fir)*

Jumat, 13 Mei 2011

Tafsir Novel Sumarah Dalam Lukisan Doni Kabo


Tafsir Novel Sumarah dalam Lukisan Donikabo
Lukisan sosok Sri Sumarah dalam novel Umar Kayam karya perupa muda Donikabo. (TEMPO/ANANG ZAKARIA)

TEMPO InteraktifYogyakarta - Perupa muda Donikabo, 32 tahun, menampilkan lukisan yang mengangkat sosok Sri Sumarah dalam novel Umar Kayam. Mengambil temaSumarah, enam lukisannya yang berisi sosok perempuan berkerudung dengan gelang dan arloji melingkar di tangannya dipamerkan di Sangkring Art Project Yogyakarta, sepanjang 12-20 Mei 2011. “Ini adalah interupsi saya, bahwa kini Sumarah (lebih banyak murung),” kata Donikabo, perupa kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu.

Mengambil latar bekalang Indonesia di tahun 1965, novel Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam diterbitkan pertama kali pada 1975. Dikisahkan, Sumarah adalah sosok perempuan yang pasrah atawa sumarah dalam bahasa Jawa. Sumarah digambarkan sebagai perempuan yang tegar dengan berbagai derita hidup yang silih berganti menimpa. Pasrah dijodohkan dengan Mas Marto lantas ditinggal mati lelaki yang belakangan menjadi suaminya itu. Dengan kondisi itu, dia harus banting tulang menghidupi Tun, buah hatinya.

Derita tak berakhir di sini. Setelah besar, Tun ternyata diketahui hamil di luar nikah lantas menikah dengan Yos yang dibunuh karena tudingan terlibat PKI. Tun pun ditahan. Dan kini, tinggallah Sumarah yang harus menanggung penghidupan Ginuk, cucunya. Semua derita hidup, dilalui Sumarah dengan senyum.

Pembaca karya Donikabo, Hendra Himawan, mengatakan, Donikabo mencoba memaknai ulang Sumarah, yang disebutnya sebagai cermin kepribadian perempuan Jawa. Ia sebagai seorang perempuan, ibu, dan manusia biasa. Sumarah dipaksa tersenyum dalam berbagai kondisi oleh lingkungan. “Ada ketegangan-ketegangan yang tergambar dalam Sumarah,” ujar Hendra.

Hendra menyatakan, Donikabo memang terinspirasi dari Sumarah karya Umar Kayam. Realitas Sumarah itu lantas direnungkan sesuai pengalaman hidupnya. “Kabo dibesarkan oleh ibu yang single parent,” Hendra menuturkan.

Melalui Sumarah dan pengalaman hidup yang dialami, Donikabo lantas membandingkan dengan kondisi perempuan dalam masyarakat saat ini. “(perempuan) harus tersenyum meski sedih, jatuh tapi harus bangun, hingga menyerah atau bertahan,” ujar Hendra.

Maka, membaca realitas perempuan saat ini, tak bisa hanya sepotong. Seperti membaca karya Donikabo yang dipamerkan. “Karena itu satu kesatuan,” kata Hendra menjelaskan.


ANANG ZAKARIA

Sumarah writer by Hendra Himawan



Pembukaan : Kamis, 12 Mei 2011, Jam 19.00 wib
Pameran dibuka oleh : Bob Six Yudhita
Performance : Pinx Cobra, Latex
Diskusi seni : Jumat, 13 Mei 2011, Jam 15.00
Pameran berlangsung : 12 – 20 Mei 2011

Sumarah dan Liminalitas
Hendra Himawan*

Jarak dan Kerudung
Perempuan itu tampak begitu mencermati dot bayi (tempat minum susu bayi) di hadapannya, mengisyaratkan sebuah intensitas perhatian yang begitu kuat diantara keduanya. Namun mengapa mesti ada jarak diantaranya? Meminjam semiotika Barthes dalam second order semiotic, mungkinkah ada sesuatu yang terjadi antara perempuan dengan dot ini, antara seorang ibu muda dengan bayinya? Andaikan melihat atribut yang dikenakan, tentunya perempuan ini bukanlah perempuan yang biasa, atau ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktu di sumur dan dapur. Gelang beruntaikan mutiara berikut jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, setidaknya mengisyaratkan sosok perempuan yang ‘berada’, mungkin juga seorang perempuan karier.
Dilema perempuan seakan tertangkap lugas dalam karya-karya ini. Problematika diri ketika dihadapkan pada pilihan antara bekerja dan mengurus buah hati, dihadirkan dalam kadar yang sangat kuat. Bagaimana jarak yang hadir diantara dua objek (figur perempuan dan dot) tersebut, memicu perhatian kita untuk melihat dilema itu sebagai sebuah realita yang nyata hadir, sebuah pilihan yang begitu berat tentunya. Disatu sisi ia harus bekerja mencari sekaleng susu, di sisi lain buah hatinya ‘menuntut’ tanggung jawab seorang ibu. Dualisme peran inilah yang memungkinkan lahirnya gesture maupun atribut yang mencerminkan identitas tertentu. Singlemother, mungkin adalah identitas yang dapat kita sematkan pada figur perempuan dalam karya-karya ini.
Di tengah kegamangan dan dilema yang begitu kuat, pasrah dan menyerah terkadang menjadi sebuah jalan ringkas yang kemudian dipilih. Berpasrah diri pada kenyataan yang ada, sedikit mencoba bangkit, kemudian berlari mencari sandaran. Hal ini adalah upaya-upaya untuk memahami wilayah kesadaran diri dan eksistensi lain diluar dirinya, maka dikenakanlah kerudungnya. Kerudung dimaknai sebagai sebuah penghormatan akan eksistensi Ketuhanan, sebuah kesadaran akan adanya dimensi lain yang mengatur manusia.  Kerudung telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban.
Membaca gerak dan narasi emotic yang dihadirkan ataupun sebagaimana yang dipaparkan diatas, keberadaan kerudung yang dikenakan sang perempuan sesungguhnya merupakan bentuk ke’sumarah’an dirinya. Sumarah (bahasa jawa) berarti kepasrahan, menyerah. Meminjam istilah Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan Bawuk (1975:12), “sumarah” adalah menyerah pasra, tetapi “sumarah” (menyerah) tidak berarti diam saja. Menyerah disini berarti mengerti dan terbuka, tetapi tidak menolak. Dalam karya-karya ini, kerudung sekan menegaskan dirinya menjadi simbol kepasrahan diri perempuan, yakni bersandar pada atribut keagamaan.


Ambang
Memandang semua karya Doni Kabo dalam Pameran Tunggalnya yang bertajuk “Sumarah” di Sangkring Art Project, kita akan di ajak untuk menyelami dunia ambang. Figur perempuan yang dihadirkan  oleh Kabo merupakan individu yang , dalam istilah Victor Turner (1967), berada dalam wilayah liminal dari dua dunia yang mereka geluti, baik dunia kultural maupun dunia sosial. Liminalitas dihadirkan Kabo dalam tensi yang begitu kuat. Bagaimana ambiguitas “sumarah” dan paradoks antara ibu yang mungkin seorang perempuan karier dengan bayinya (yang disubtitusikannya dengan dot) dipaparkannya dalam narasi yang bisa berarti ”neither living nor dead from one aspect, and both living and dead from another“.
Beragam atribut yang disematkan dalam figur perempuan dalam karyanya, pun, menyiratkan wajah dunia liminal. Gelang mutiara, jam tangan dan dot bayi, menunjukkan tegangan peran dan intensitas emosi tersendiri. Hadirnya kerudung yang tidak terpasang dengan baik menyiratkan asumsi dua kutub yang berlainan, budaya santri (religi) dan budaya ‘bukan santri’ (tadisi). Dari sinilah lahir  dunia ‘abangan’, sebuah dunia abu-abu, tidak hitam, pun putih. Visualitas karya yang monokromatik yang mengesankan labilitas dan keraguan, merupakan citra yang kuat akan liminalitasnya. Dunia yang kelabu, dunia ambang, dunia betwixt and between, sebuah dunia yang tanpa struktur.
Meski ranah liminal dihadirkan Kabo dengan tensi yang kuat, andai kita memandang secara keseluruhan karya-karya yang dipamerkan kita akan merasakan bahwa struktur narasi kehidupan yang membuat peristiwa dibelakangnya  terkesan rumit, menjadi  dapat dipahami karena dalam tataran dan bingkai simbolis, narasi ini dapat dirangkai mengikuti garis-garis penalaran yang berada pada tataran nirsadar sekalipun.
Dalam perspektif nalar jawa (Javanese Mind) -perkenankan penulis menggunakannya- melihat karya-karya ini tampak sebuah konsepsi atau cara nalar “orang Jawa” menampilkan kelenturan, tatanan (order) serta pandangan bahwa segala sesuatu harus temata (tertata). Dan ketertataan ini mempunyai tiga komponen yaitu kesatuan (unity), kesinambungan (continuity) dan keselarasan (harmony), dan inilah yang ingin diungkapkan oleh Kabo lewat karya-karyanya. Bagaimana kesatuan tematik hadir dalam masing-masing karya, kesinambungan narasi yang diusung, dan keselarasan makna hidup yang menjadi landasan spiritual tergelarnya pameran “sumarah” kali ini.


*Penulis adalah rekan seniman di kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta, tinggal dan bekerja di Yogyakarta.