Senin, 26 April 2010

Doni Kabo – Mewarnai Hitam, Melampaui Suram

Jakarta Art District kembali melakukan pameran rutinnya yang dilakukan di Hall pameran Utamanya, pameran kali ini adalah giliran Langgeng Gallery, Gallery yang berada di Magelang ini sudah cukup terkenal dengan berbagai penyelenggaraan pameran seni yang terkenal, akan tetapi entah karena berbenturan dengan 3 event yang Langgeng lakukan atau tidak, pameran Doni Kabo berjudul ‘Mewarnai Hitam, Melampaui Suram’ ini seakan terabaikan, bukannya tanpa sebab saya mengatakan seperti ini, saat saya datang kesana ternyata pameran ini seperti sedang tidak ada pameran, tidak ada tanda khusus kecuali tergantungnya lukisan Doni Kabo disana..tidak ada judul pameran, tidak ada kalimat pembuka/sambutan, bahkan tidak ada katalog yang disediakan, bagaimana ini Langgeng Gallery?
'Mencekam Dua' - Bitumen Oil on Canvas-150x260cm(2panel)-2010
'Melampaui Suram Tiga' - Bitumen Oil On Canvas-200x150cm(2panel)-2010
Exhibition Name :Mewarnai Hitam, Melampaui Suram
Place : Jakarta Art District (Exhibition by Langgeng Gallery)
Curator : Alia Swastika
Time : 8 April – 20 April 2010
Artist : Doni Kabo

Sabtu, 24 April 2010

Mewarnai Hitam, Melampaui Suram . Alia Swastika


Oleh: Alia Swastika


February 2010, di New Delhi terbit sebuah majalah seni rupa baru yang edisi pertamanya menampilkan “hitam” sebagai tema utama. Saya membacanya dengan penuh rasa penasaran, terutama karena saya ingin melihat bagaimana hitam dilihat sebagai sebuah isu yang jauh melampaui maknanya sekadar sebagai warna, melainkan sebuah representasi identitas. Dalam pengantar editorialnya, disebutkan bahwa hitam mungkin menjadi kata yang punya terlalu banyak makna dalam ranah kajian budaya kontemporer. Khusus dalam konteks penerbitan itu, Shaheen Merali, editor tamu, menyatakan bahwa hitam mempunyai banyak asosiasi dengan terma-terma negatif, terutama berkaitan dengan politik identitas. Hitam merujuk pada “sang liyan” (the other), sesuatu yang dilawankan dengan putih (yang acap diasosiasikan sebagai aras utama [mainstream]).

Secara singkat, inilah bagian dari tafsir Shaheen Merali atas warna hitam: “sebagian besar aura yang melingkupi kata hitam ini muncul dari rekaman histories yang berkaitan dengan perjuangan untuk mendapatkan kesamaan hak dan pembebasan filosofi, sebuah model yang membuat bahasa dan kekuatan semiotis digunakan sebagai apparatus untuk menekankan tindakan politis dan keberpihakan. Hitam adalah kata yang merujuk pada ancaman, seolah membawa ingatan atas kekejaman, dan mengikat pada sang liyan.”

Di tengah kepungan makna yang meluas atas “hitam” itu, saya bertemu dengan karya-karya Doni Kabo. Tentu saja, yang segera menautkan dua pengalaman itu adalah bagaimana saya menggarisbawahi HITAM. Berbeda dari tafsir hitam dalam majalah TAKE, yang saya temukan pada karya lukisan Doni Kabo ini adalah keberadaan hitam sebagai warna. Ia, yang hadir hanya sebagai hitam, tanpa ada pretensi untuk menjejalkan makna-makna lain yang kadang membentuk labirin yang kompleks.

Hitam memang warna yang sangat dominan dalam pameran tunggal Doni Kabo kali ini.  hampir dua puluh lukisan yang dibuatnya dalam kurun waktu tiga minggu semuanya menekankan hitam sebagai kata kunci visualnya. Tentu saja, karena sedemikian pekat dan intensnya ia mengolah hitam, kita bisa melihat bagaimana ruang pamer menjadi mencekam. Barangkali, beberapa akan melihatnya suram atau kelam. Tetapi itulah, dengan cara tertentu, mungkin dengan sedikit berliku, Doni Kabo menawarkan pada kita petualangan yang berbeda, yang lebih penuh misteri. Karena, barangkali, meski akan terkesan sedikit menggampangkan, dunia seni mainstream kita dipenuhi oleh gambar beraneka warna, penuh dengan simbol-simbol yang menuntut kita untuk mengartikan dan memberinya tempat tertentu dalam konteks kultural kita. Doni Kabo cuma punya dua warna, hitam dan putih, yang kadang ia baurkan menjadi coklat atau semacam putih yang berkilau perak. Dalam konteks itu pula, saya melihat bagaimana seniman mencoba bergulat dengan hitam karena di situlah ia menyimpan banyak tantangan; hitam adalah titik di mana warna acap dianggap tidak ada.

Saya juga tidak melihat Doni Kabo sebagai bagian dari seniman yang tidak suka  membubuhkan banyak simbol yang bisa diartikan untuk memberi kita tantangan-tantangan semiotika. Yang saya rasakan, Doni Kabo menghayati betul prosesnya melukis. Ia sedang bergulat dengan definisi dan batasan-batasan tentang lukisan itu sendiri. Baginya, kanvas itu barangkali semesta yang masih kosong, yang tidak perlu untuk diisi dengan terburu, karena setiap benda akan punya makna sendiri pada akhirnya nanti. Maka, kita bisa melihat bagaimana kanvas lukisan Doni Kabo hampir semuanya terdiri atas objek tunggal, atau kadang-kadang dua atau tiga objek, dengan latar belakang hitamnya yang lebih dominan terserap oleh mata kita. Dan yang digambar pun sesuatu yang mungkin tak universal, yang tidak dengan begitu saja menautkan pengalaman setiap penonton dengan subjek yang sedang dihamparkan di sana. Kita runtut saja tiga subjek tersebut; ikan hiu, foto dari Yustoni Volunteero, dan semacam gambar lanskap yang disandingkan dengan bentuk figuratif.


*****



Sebagaimana selalu, ada pertanyaan-pertanyaan klasik, mengapa ikan hiu? Mengapa wajah Toni Volunteero? Mengapa bangunan-bangunan tanpa manusia? Doni Kabo sendiri tidak menyebut alasan yang spesifik atas pemilihan subjek-subjek tersebut. Ikan hiu, misalnya, tidak dipilih karena makna semiotiknya. Kesan saya, Kabo memang lebih memilihnya secara acak di antara banyak kemungkinan objek yang lain. Tentu saja, persepsi yang telah ada tentang ikan hiu sendiri, mempunyai kaitan yang cukup dengan alasan memilih hiu sebagai subjek. Dengan kesan atas hitam yang mencekam dan gelap, maka pilihan atas hiu menjadi terasa punya alasannya sendiri, karena entah mengapa, mulut-mulut hiu yang terbuka lebar itu, seperti menawarkan satu cekaman yang lain. Membuka bilik misteri selanjutnya, yang berlanjut dari misteri yang telah dibuka di awal oleh warna hitam tadi.

Pada awalnya, menuliskan catatan ini, saya mencoba juga memberikan arti yang lebih pada si subjek: ikan hiu. Saya mencoba juga mencari di google, sedikit belajar tentang ikan hiu. Setidak-tidaknya, saya mencoba mengerti karakteristik tertentu dari ikan hiu yang membuatnya lebih memiliki konteks ketika tubuhnya dicomot dan diletakkan di sebuah bingkai kanvas. Tetapi, nyatanya, saya tidak merasakan ada makna-makna semiotis yang perlu saya lekatkan pada ikan hiu yang digambarkan Kabo. Kenyataannya, si ikan hiu itu merepresentasikan keberadaannya saja, sebagai binatang, sebagai subjek yang bisa digambar. Tentu saja, dalam literature itu disebutkan bahwa hiu adalah sejenis ikan pemangsa yang mempunyai rahang dan gigi yang sangat kuat, sehingga binatang ini selalu dikategorikan sebagai hewan berbahaya. Dalam kanvas Kabo, mulut-mulut hiu yang menganga lebar itu memang memberi satu tambahan misteri lagi, sesuatu yang seakan mengajak kita untuk menyuruk masuk dalamnya. Mulut yang terbuka seperti gua, yang gelap, dalamnya tak terduga tetapi membawa kita ingin menghayati yang suram dan kelam itu.

Subjek keduanya, yaitu wajah Yustoni Volunteero (selanjutnya akan saya sebut sebagai Toni), seorang teman baik Kabo yang juga merupakan seniman visual, sebenarnya ditempatkan pada posisi yang sama dengan sang ikan hiu. Berbeda dengan kecenderungan seniman untuk mengeksplorasi potret diri—yang pernah juga dilakukan oleh Kabo pada pameran sebelumnya—atau wajah-wajah yang ikonik, Kabo memilih wajah yang cenderung akrab dengannya. Ia memang sering bertemu dengan Toni, terutama sebagai teman diskusi membahas berbagai hal, termasuk di antaranya tentang praktik-praktik kesenian yang mereka jalani. Kabo tidak punya pretensi menempatkan Toni sebagai tokoh penting dalam seni rupa, misalnya, meskipun Toni punya peran dan posisinya sendiri dalam sejarah seni rupa di Indonesia. Ia hanya menggambarkan Toni dengan intensitas yang penuh, tidak terlalu peduli pada ekspresi atau representasi diri, karena Toni hadir sebagai “sekadar” subjek. Ia lebih menggarap hal-hal detai berkaitan dengan elemen visual dalam lukisan itu sendiri: tekstur, warna, bayangan, garis batas, dan sebagainya. Barangkali, secara tak sadar, dengan cara tertentu, ada percakapan tak langsung yang membuat Kabo mendapatkan refleksi diri dari proses menggambar wajah Toni. Proses pencerminan diri ini merupakan satu cara pembacaan yang nyaris klasik, karena menganggap bahwa setiap proses menggambar wajah adalah modus refleksi diri.

Subjek ketiga agak berbeda dengan subjek satu dan dua. Jika subjek hiu dan wajah Toni menjadi subjek tunggal yang memenuhi hampir seluruh kanvas, maka subjek ketiga merupakan penggabungan dari imaji lanskap—potongan satu atau beberapa bangunan yang menyerupai sudut sebuah kota—dengan subjek figuratif. Bangunan-bangunan ini berdiri sebagai representasi benda mati; karena seperti tak ada kehidupan di sana. Tak ada sosok manusia, tidak ada tanda-tanda seperti sesuatu hidup dan bertumbuh di dalamnya. Berbeda dengan subjek hiu yang menggunakan hitam sebagai latar belakang warna, pada subjek lanskap ini Kabo memilih menggunakan warna perak sebagai latar, sementara hitam menjadi penanda garis pada bangunan-bangunan itu. hitam, yang terkesan sedemikian megah pada subjek-subjek awal, kemudian makin berkurang intensitasnya pada tema lanskap ini. Warna hitam bertransformasi menjadi bagian dari subjek itu sendiri, bukan lagi latar belakang.

Karena warna dan narasi subjeknya yang cenderung minimal, sepintas lalu karya-karya Kabo ini memang menawarkan sesuatu yang terkesan hampa. Pada dasarnya kita bisa mempertanyakan, apakah hampa ini sama dengan kosong sama dengan tak bermakna? Kabo tidak berbicara tentang “yang kosong”, ia berbicara tentang sesuatu yang tidak diisi penuh, yang menyisakan ruang-ruang yang luas untuk berimajinasi sendiri tentang makna-makna. Kita dihadapkan pada ketidakbermaknaan. Kita berfantasi melampaui narasi. Pasca-narasi.

******

Memandangi lukisan Kabo, kita bisa melepaskan diri dari upaya-upaya mencari pesan atau makna dari sang subjek. Eksperimentasinya atas teknik dan medium—harus dicatat bahwa ia menggunakan ter, atau plikut (bahan pembuat aspal) sebagai pengganti medium konvensional seperti cat akrilik, cat minyak atau arang—membuat karyanya penuh dengan detail yang mengejutkan. Ada nuansa warna yang berbeda, terutama dari campuran warna dasar bahan-bahan yang tidak biasa itu. Dari sini, ketimbang sibuk merangkai makna atas subjeknya, saya lebih menikmati eksperimentasi teknik dan medium yang sedang diupayakan oleh Kabo ini. saya melihat bahwa Kabo berjuang untuk mendapatkan hasil terbaik dari setiap eksperimentasi yang ia lakukan dengan ketekunan, konsentrasi dan intensitas yang berharga untuk dibela.

Dalam suatu perbincangan, Doni Kabo menyatakan pada saya ia sedang memperjuangkan eksperimental art. Di luar bahwa kata “experiment” sendiri dalam ranah sejarah seni sudah menjadi satu konsep yang sedemikian kompleks hingga dapat disebut sebagai satu genre tersendiri, Kabo tampaknya menekankan kata ini sebagai sebuah proses, bukan definisi. Pengertian eksperimentasi sendiri secara global telah meluas mencakup sebagai upaya menemukan bentuk seni baru, yang terutama menerobos batasan teknik, medium, aliran dan kecenderungan formalisme. Dengan cara tertentu, Kabo memang terasa kembali pada ‘formalisme’ dalam pengertian ia memperjuangkan elemen visual yang fundamental dari sebuah lukisan; yakni tekstur, warna, dan komposisi. Belakangan, kerja-kerja yang semacam ini bukan merupakan pendekatan yang cukup populer dalam wilayah seni rupa kontemporer. Akan tetapi, bagi Kabo, formalisme adalah semacam cara untuk keluar dari aras utama dari kecenderungan seni rupa Indonesia. Ia berusaha memberi makna baru pada tindak melukis. Secara personal, ia melihat bahwa kerja melukis adalah usaha terus menerus untuk melakukan terobosan, meski dalam batasan yang lebih sempit, ihwal pengalaman personalnya sendiri tentang lukisan. Tentu saja, mencari apa yang baru dalam kancah seni memang menjadi hal yang seperti mustahil karena seolah segala hal pernah dilakukan oleh yang lain. Oleh karena itu, saya kira, percobaan-percobaan seniman kontemporer pada dasarnya bukanlah sebuah usaha untuk menemukan apa yang ‘baru’, melainkan menyatakan sebuah karakter yang khas atau sesuatu yang melampaui batas zaman. Baru atau tidak baru adalah dua perkara yang berbeda.

Selama menggunakan ter sebagai medium utama lukisannya, bukan soal bahwa apakah pelukis lain pernah menggunakan ter atau tidak yang dipermasalahkan oleh Kabo. Yang ia rasakan dan ia hayati, justru barangkali berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelumnya, adalah ia bertemu dengan “sensasi bau”. Lepas dari “posisi”-nya sebagai medium alternatif, Kabo bertemu dengan bau yang kuat dan pekat, yang dirasakan oleh indera penciumannya. Selama proses melukis yang intensif, hampir dua minggu tanpa istirahat yang benar-benar cukup, dua inderanya, yakni mata dan hidung bekerja bersamaan. Sensasi bau, barangkali tidak secara langsung mempengaruhi proses melukis itu sendiri, tetapi ada situasi-situasi baru, entah membebaskan entah membatasi yang ia ciptakan di sana. Eksperimentasi dalam mengatasi sensasi-sensasi ini juga menjadi hal ia catat, bahwa imajinasi visual bisa dirangsang oleh sesuatu yang lain.

Keterbatasan warna yang dapat dihadirkan oleh medium itu sendiri juga menjadi tantangan yang harus ia atasi. Ia membuat modus-modus bayangan sebagai cara untuk menghadapi kontras dari warna yang terbatas.


Kembali lagi pada pokok soal hitam, saya melihat bahwa percobaan atas keterbatasan, sekaligus keleluasaan warna inilah yang menjadi eksperimentasi berharga dari tindak melukis Kabo. Bagi penonton sendiri, barangkali warna hitam memang cenderung membawa suasana yang dramatis karena ia mencekam dan menguasai bawah sadar kita. Tetapi, barangkali, warna hitam ini juga membuka ruang-ruang tertentu pada kenangan dan mimpi; sebuah perjalanan menuju angkasa, lingkup yang pekat dari imaji atas semesta.