Oleh: Alia Swastika
February 2010, di New Delhi terbit sebuah
majalah seni rupa baru yang edisi pertamanya menampilkan “hitam” sebagai tema
utama. Saya membacanya dengan penuh rasa penasaran, terutama karena saya ingin
melihat bagaimana hitam dilihat sebagai sebuah isu yang jauh melampaui maknanya
sekadar sebagai warna, melainkan sebuah representasi identitas. Dalam pengantar
editorialnya, disebutkan bahwa hitam mungkin menjadi kata yang punya terlalu
banyak makna dalam ranah kajian budaya kontemporer. Khusus dalam konteks
penerbitan itu, Shaheen Merali, editor tamu, menyatakan bahwa hitam mempunyai
banyak asosiasi dengan terma-terma negatif, terutama berkaitan dengan politik
identitas. Hitam merujuk pada “sang liyan” (the other), sesuatu yang dilawankan
dengan putih (yang acap diasosiasikan sebagai aras utama [mainstream]).
Secara singkat, inilah bagian dari tafsir
Shaheen Merali atas warna hitam: “sebagian besar aura yang melingkupi kata
hitam ini muncul dari rekaman histories yang berkaitan dengan perjuangan untuk
mendapatkan kesamaan hak dan pembebasan filosofi, sebuah model yang membuat
bahasa dan kekuatan semiotis digunakan sebagai apparatus untuk menekankan
tindakan politis dan keberpihakan. Hitam adalah kata yang merujuk pada ancaman,
seolah membawa ingatan atas kekejaman, dan mengikat pada sang liyan.”
Di tengah kepungan makna yang meluas atas
“hitam” itu, saya bertemu dengan karya-karya Doni Kabo. Tentu saja, yang segera
menautkan dua pengalaman itu adalah bagaimana saya menggarisbawahi HITAM.
Berbeda dari tafsir hitam dalam majalah TAKE, yang saya temukan pada karya
lukisan Doni Kabo ini adalah keberadaan hitam sebagai warna. Ia, yang hadir
hanya sebagai hitam, tanpa ada pretensi untuk menjejalkan makna-makna lain yang
kadang membentuk labirin yang kompleks.
Hitam memang warna yang sangat dominan
dalam pameran tunggal Doni Kabo kali ini.
hampir dua puluh lukisan yang dibuatnya dalam kurun waktu tiga minggu
semuanya menekankan hitam sebagai kata kunci visualnya. Tentu saja, karena
sedemikian pekat dan intensnya ia mengolah hitam, kita bisa melihat bagaimana
ruang pamer menjadi mencekam. Barangkali, beberapa akan melihatnya suram atau
kelam. Tetapi itulah, dengan cara tertentu, mungkin dengan sedikit berliku,
Doni Kabo menawarkan pada kita petualangan yang berbeda, yang lebih penuh
misteri. Karena, barangkali, meski akan terkesan sedikit menggampangkan, dunia
seni mainstream kita dipenuhi oleh gambar beraneka warna, penuh dengan
simbol-simbol yang menuntut kita untuk mengartikan dan memberinya tempat
tertentu dalam konteks kultural kita. Doni Kabo cuma punya dua warna, hitam dan
putih, yang kadang ia baurkan menjadi coklat atau semacam putih yang berkilau
perak. Dalam konteks itu pula, saya melihat bagaimana seniman mencoba bergulat
dengan hitam karena di situlah ia menyimpan banyak tantangan; hitam adalah
titik di mana warna acap dianggap tidak ada.
Saya juga tidak melihat Doni Kabo sebagai
bagian dari seniman yang tidak suka
membubuhkan banyak simbol yang bisa diartikan untuk memberi kita
tantangan-tantangan semiotika. Yang saya rasakan, Doni Kabo menghayati betul
prosesnya melukis. Ia sedang bergulat dengan definisi dan batasan-batasan
tentang lukisan itu sendiri. Baginya, kanvas itu barangkali semesta yang masih kosong,
yang tidak perlu untuk diisi dengan terburu, karena setiap benda akan punya
makna sendiri pada akhirnya nanti. Maka, kita bisa melihat bagaimana kanvas
lukisan Doni Kabo hampir semuanya terdiri atas objek tunggal, atau
kadang-kadang dua atau tiga objek, dengan latar belakang hitamnya yang lebih
dominan terserap oleh mata kita. Dan yang digambar pun sesuatu yang mungkin tak
universal, yang tidak dengan begitu saja menautkan pengalaman setiap penonton
dengan subjek yang sedang dihamparkan di sana. Kita runtut saja tiga subjek
tersebut; ikan hiu, foto dari Yustoni Volunteero, dan semacam gambar lanskap
yang disandingkan dengan bentuk figuratif.
*****
Sebagaimana selalu, ada
pertanyaan-pertanyaan klasik, mengapa ikan hiu? Mengapa wajah Toni Volunteero?
Mengapa bangunan-bangunan tanpa manusia? Doni Kabo sendiri tidak menyebut
alasan yang spesifik atas pemilihan subjek-subjek tersebut. Ikan hiu, misalnya,
tidak dipilih karena makna semiotiknya. Kesan saya, Kabo memang lebih
memilihnya secara acak di antara banyak kemungkinan objek yang lain. Tentu
saja, persepsi yang telah ada tentang ikan hiu sendiri, mempunyai kaitan yang
cukup dengan alasan memilih hiu sebagai subjek. Dengan kesan atas hitam yang
mencekam dan gelap, maka pilihan atas hiu menjadi terasa punya alasannya
sendiri, karena entah mengapa, mulut-mulut hiu yang terbuka lebar itu, seperti
menawarkan satu cekaman yang lain. Membuka bilik misteri selanjutnya, yang
berlanjut dari misteri yang telah dibuka di awal oleh warna hitam tadi.
Pada awalnya, menuliskan catatan ini, saya
mencoba juga memberikan arti yang lebih pada si subjek: ikan hiu. Saya mencoba
juga mencari di google, sedikit belajar tentang ikan hiu. Setidak-tidaknya,
saya mencoba mengerti karakteristik tertentu dari ikan hiu yang membuatnya
lebih memiliki konteks ketika tubuhnya dicomot dan diletakkan di sebuah bingkai
kanvas. Tetapi, nyatanya, saya tidak merasakan ada makna-makna semiotis yang
perlu saya lekatkan pada ikan hiu yang digambarkan Kabo. Kenyataannya, si ikan
hiu itu merepresentasikan keberadaannya saja, sebagai binatang, sebagai subjek
yang bisa digambar. Tentu saja, dalam literature itu disebutkan bahwa hiu
adalah sejenis ikan pemangsa yang mempunyai rahang dan gigi yang sangat kuat,
sehingga binatang ini selalu dikategorikan sebagai hewan berbahaya. Dalam
kanvas Kabo, mulut-mulut hiu yang menganga lebar itu memang memberi satu
tambahan misteri lagi, sesuatu yang seakan mengajak kita untuk menyuruk masuk
dalamnya. Mulut yang terbuka seperti gua, yang gelap, dalamnya tak terduga
tetapi membawa kita ingin menghayati yang suram dan kelam itu.
Subjek keduanya, yaitu wajah Yustoni
Volunteero (selanjutnya akan saya sebut sebagai Toni), seorang teman baik Kabo
yang juga merupakan seniman visual, sebenarnya ditempatkan pada posisi yang
sama dengan sang ikan hiu. Berbeda dengan kecenderungan seniman untuk
mengeksplorasi potret diri—yang pernah juga dilakukan oleh Kabo pada pameran
sebelumnya—atau wajah-wajah yang ikonik, Kabo memilih wajah yang cenderung
akrab dengannya. Ia memang sering bertemu dengan Toni, terutama sebagai teman
diskusi membahas berbagai hal, termasuk di antaranya tentang praktik-praktik
kesenian yang mereka jalani. Kabo tidak punya pretensi menempatkan Toni sebagai
tokoh penting dalam seni rupa, misalnya, meskipun Toni punya peran dan
posisinya sendiri dalam sejarah seni rupa di Indonesia. Ia hanya menggambarkan
Toni dengan intensitas yang penuh, tidak terlalu peduli pada ekspresi atau
representasi diri, karena Toni hadir sebagai “sekadar” subjek. Ia lebih menggarap
hal-hal detai berkaitan dengan elemen visual dalam lukisan itu sendiri:
tekstur, warna, bayangan, garis batas, dan sebagainya. Barangkali, secara tak
sadar, dengan cara tertentu, ada percakapan tak langsung yang membuat Kabo
mendapatkan refleksi diri dari proses menggambar wajah Toni. Proses pencerminan
diri ini merupakan satu cara pembacaan yang nyaris klasik, karena menganggap
bahwa setiap proses menggambar wajah adalah modus refleksi diri.
Subjek ketiga agak berbeda dengan subjek
satu dan dua. Jika subjek hiu dan wajah Toni menjadi subjek tunggal yang
memenuhi hampir seluruh kanvas, maka subjek ketiga merupakan penggabungan dari
imaji lanskap—potongan satu atau beberapa bangunan yang menyerupai sudut sebuah
kota—dengan subjek figuratif. Bangunan-bangunan ini berdiri sebagai
representasi benda mati; karena seperti tak ada kehidupan di sana. Tak ada
sosok manusia, tidak ada tanda-tanda seperti sesuatu hidup dan bertumbuh di
dalamnya. Berbeda dengan subjek hiu yang menggunakan hitam sebagai latar belakang
warna, pada subjek lanskap ini Kabo memilih menggunakan warna perak sebagai
latar, sementara hitam menjadi penanda garis pada bangunan-bangunan itu. hitam,
yang terkesan sedemikian megah pada subjek-subjek awal, kemudian makin
berkurang intensitasnya pada tema lanskap ini. Warna hitam bertransformasi
menjadi bagian dari subjek itu sendiri, bukan lagi latar belakang.
Karena warna dan narasi subjeknya yang
cenderung minimal, sepintas lalu karya-karya Kabo ini memang menawarkan sesuatu
yang terkesan hampa. Pada dasarnya kita bisa mempertanyakan, apakah hampa ini
sama dengan kosong sama dengan tak bermakna? Kabo tidak berbicara tentang “yang
kosong”, ia berbicara tentang sesuatu yang tidak diisi penuh, yang menyisakan
ruang-ruang yang luas untuk berimajinasi sendiri tentang makna-makna. Kita
dihadapkan pada ketidakbermaknaan. Kita berfantasi melampaui narasi.
Pasca-narasi.
******
Memandangi lukisan Kabo, kita bisa
melepaskan diri dari upaya-upaya mencari pesan atau makna dari sang subjek.
Eksperimentasinya atas teknik dan medium—harus dicatat bahwa ia menggunakan
ter, atau plikut (bahan pembuat aspal) sebagai pengganti medium konvensional
seperti cat akrilik, cat minyak atau arang—membuat karyanya penuh dengan detail
yang mengejutkan. Ada nuansa warna yang berbeda, terutama dari campuran warna
dasar bahan-bahan yang tidak biasa itu. Dari sini, ketimbang sibuk merangkai
makna atas subjeknya, saya lebih menikmati eksperimentasi teknik dan medium
yang sedang diupayakan oleh Kabo ini. saya melihat bahwa Kabo berjuang untuk
mendapatkan hasil terbaik dari setiap eksperimentasi yang ia lakukan dengan
ketekunan, konsentrasi dan intensitas yang berharga untuk dibela.
Dalam suatu perbincangan, Doni Kabo
menyatakan pada saya ia sedang memperjuangkan eksperimental art. Di luar bahwa
kata “experiment” sendiri dalam ranah sejarah seni sudah menjadi satu konsep
yang sedemikian kompleks hingga dapat disebut sebagai satu genre tersendiri,
Kabo tampaknya menekankan kata ini sebagai sebuah proses, bukan definisi.
Pengertian eksperimentasi sendiri secara global telah meluas mencakup sebagai
upaya menemukan bentuk seni baru, yang terutama menerobos batasan teknik,
medium, aliran dan kecenderungan formalisme. Dengan cara tertentu, Kabo memang
terasa kembali pada ‘formalisme’ dalam pengertian ia memperjuangkan elemen
visual yang fundamental dari sebuah lukisan; yakni tekstur, warna, dan
komposisi. Belakangan, kerja-kerja yang semacam ini bukan merupakan pendekatan
yang cukup populer dalam wilayah seni rupa kontemporer. Akan tetapi, bagi Kabo,
formalisme adalah semacam cara untuk keluar dari aras utama dari kecenderungan
seni rupa Indonesia. Ia berusaha memberi makna baru pada tindak melukis. Secara
personal, ia melihat bahwa kerja melukis adalah usaha terus menerus untuk
melakukan terobosan, meski dalam batasan yang lebih sempit, ihwal pengalaman
personalnya sendiri tentang lukisan. Tentu saja, mencari apa yang baru dalam
kancah seni memang menjadi hal yang seperti mustahil karena seolah segala hal
pernah dilakukan oleh yang lain. Oleh karena itu, saya kira,
percobaan-percobaan seniman kontemporer pada dasarnya bukanlah sebuah usaha
untuk menemukan apa yang ‘baru’, melainkan menyatakan sebuah karakter yang khas
atau sesuatu yang melampaui batas zaman. Baru atau tidak baru adalah dua perkara
yang berbeda.
Selama menggunakan ter sebagai medium utama
lukisannya, bukan soal bahwa apakah pelukis lain pernah menggunakan ter atau
tidak yang dipermasalahkan oleh Kabo. Yang ia rasakan dan ia hayati, justru
barangkali berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelumnya, adalah ia bertemu
dengan “sensasi bau”. Lepas dari “posisi”-nya sebagai medium alternatif, Kabo
bertemu dengan bau yang kuat dan pekat, yang dirasakan oleh indera
penciumannya. Selama proses melukis yang intensif, hampir dua minggu tanpa
istirahat yang benar-benar cukup, dua inderanya, yakni mata dan hidung bekerja
bersamaan. Sensasi bau, barangkali tidak secara langsung mempengaruhi proses
melukis itu sendiri, tetapi ada situasi-situasi baru, entah membebaskan entah
membatasi yang ia ciptakan di sana. Eksperimentasi dalam mengatasi
sensasi-sensasi ini juga menjadi hal ia catat, bahwa imajinasi visual bisa
dirangsang oleh sesuatu yang lain.
Keterbatasan warna yang dapat dihadirkan
oleh medium itu sendiri juga menjadi tantangan yang harus ia atasi. Ia membuat
modus-modus bayangan sebagai cara untuk menghadapi kontras dari warna yang
terbatas.
Kembali lagi pada pokok soal hitam, saya
melihat bahwa percobaan atas keterbatasan, sekaligus keleluasaan warna inilah
yang menjadi eksperimentasi berharga dari tindak melukis Kabo. Bagi penonton
sendiri, barangkali warna hitam memang cenderung membawa suasana yang dramatis
karena ia mencekam dan menguasai bawah sadar kita. Tetapi, barangkali, warna
hitam ini juga membuka ruang-ruang tertentu pada kenangan dan mimpi; sebuah
perjalanan menuju angkasa, lingkup yang pekat dari imaji atas semesta.