Selasa, 05 Agustus 2008

Empat perupa Bandung Pameran di Surabaya



















Sebanyak empat perupa asal Bandung mengadakan pameran di Galeri Surabaya dengan tema "Infected Brain", 4 - 10 Agustus mendatang. Pembukaan pameran empat perupa, yakni Doni Kabo, Yunis Kartika, Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati di komplek Balai Pemuda, Surabaya, Senin malam (4/7) dimeriahkan dengan atraksi "Drum Hero" yang merupakan komunitas drumer dan perkusi di Surabaya.
Yunis mengemukakan, ide karya mereka itu diilhami oleh film tentang semut yang memakan jamur beracun. Kemudian jamur itu tumbuh di kepala si semut. "Kalau untuk manusia, otak itu menjadi pusat kontrol dari semua aktivitas," kata mahasiswa pascasarjana Seni Murni ITB itu.
Yunis menampilkan karya semacam patung potongan tubuh yang terdapat beberapa bagian tubuh itu sebuah resleting, termasuk di bagian otak dan dada. Pada pameran kali ini Yunis dengan Doni Kabo yang juga mahasiswa S2 ITB menampilkan seni instalasi, sementara Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati menampilkan karya lukis.
Ditanya apakah pemilihan tema tentang otak ini berkaitan dengan banyaknya kajian mengenai kekuatan pikiran yang saat ini marak, Yunis membantahnya."Tapi kalau orang mengait-ngaitkan dengan hal itu tidak ada masalah," katanya. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 4 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)


Pameran Seni Berotak



Setelah Wadji M.S. unjuk gigi, Galeri Surabaya kembali diramaikan pameran seni rupa karya para seniman Bandung. Selain lukisan, mereka memajang patung, instalasi, dan drawing. Pameran bertema Infected Brain itu dibuka kemarin (4/8) dan akan berlangsung hingga 10 Agustus. Mereka adalah empat mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Yakni, Doni Kabo, Yunis Kartika (keduanya mahasiswa pascasarjana seni murni), Agung Prabowo (seni grafis), dan Sekarputri Sidhiawati (seni keramik). Saat pembukaan, mereka melakukan performance art. Doni Kabo dan Yunis Kartika dilakban di tembok, kemudian tubuh mereka ''ditembak'' dengan visual proyektor OHP. Perpaduan minyak, air, dan pewarna makanan itu memancar ke tubuh kedua perupa tersebut di dinding. Agung dan Puti -panggilan Sekarputri- meniup campuran tersebut dengan sedotan. Efek dari campuran itu seperti lampu lava. Tema Infected Brain ingin mengatakan bahwa semua karya yang mereka hasilkan berawal dari otak. Meski terdapat perbedaan dalam melihat ''otak'' di antara mereka. Doni Kabo dan Yunis Kartika melihat otak lebih pada arti harfiah. Doni memamerkan delapan self-portrait yang menggambarkan dirinya dalam berbagai ekspresi. (jan, ari/ Jawa Pos, 5 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

INFECTED BRAIN: Kolaborasi Empat Komunitas Seni



Empat komunitas seni: lukisan, pematung, musik dan teater menyatu di Galeri Surabaya (GS), Senin (4/8). Ajang seni tersebut, intinya pameran lukisan dan patung bertema Infected Brain yang dihadirkan empat seniman Bandung, Doni Kabo, Yunis Kartika, Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati. Pembukaan yang dilakukan secara lesehan semalam, dimeriahkan komunitas penggebuk drum dan perkusi yang tergabung dalam “Drum Hero”. Ajang yang dikoordinir Doweh ini dengan berbagai permainannya berhasil menyita perhatian pengguna jalan Yos Sudarso (depan GS). Sebagian penonton, ada yang mendekat ke halaman GS dan ada yang nongkrong di pinggir jalan dan duduk di sepeda motor. Setelah menampilkan para musisi dengan berbagai kepiawaiannya, pembukaan diawali sambutan koornator pameran, Luhur Kayungga, dari komunitas Teater API Surabaya. “Ini sebuah terobosan. Pameran lukisan dan patung selama ini banyak kolaborasi dengan penari maupun musik. Namun kali ini lengkap. Ada drum dan perkusi, teater serta yang membuka adalah pematung, Noor Ibrahim,” kata Luhur. Dalam sambutannya, Ibrahim mengaku bangga dengan seniman Bandung yang pameran di Surabaya. Pria brewokan ini mengaku tahu proses yang dilakukan para perupa dari kota kembang ini, kontemporer dan bicara kekinian. “Saya salut,” jelas pria yang seblumnya banyak tinggal di Jogjakarta ini. Ibrahim juga didaulat membuka pintu ruang pamer yang diberengi gebukan drum yang dipajang di halaman GS. Begitu masuk ruang, pengunjung dikejutkan oleh lembaran plat yang terlihat dipenuhi dengan goresan-goresan. Karena letaknya persis di depan pintu, banyak pengunjung yang terkecoh. Apakah itu karya seni atau bukan. Karena itu, ada pengunjung yang menghindar, tidak menginjak, tapi ada yang acuh saja, menginjak plat yang memanjang itu. Pameran yang digelar hingga 10 Agustus ini, Doni Kabo menghadirkan delapan lukisan hitam putih yang sosoknya hampir sama. Setiap lukisan dipadukan dengan angka-angka yang memenuhi frame. Karya dengan satu sosok dengan posisi merenung berat, berjudul “Bagusnya Apa”. Di antara sosok pribadi Doni yang tampil dalam karya, beberapa penonton ada yang mengidentikan sosok itu lebih mirip dengan pelukis dari Tuban, Masdibyo. Terutama pada kumisnya yang tebal. Yunis Kartika, tampil dengan empat patung. Tiga patung, mulai pinggang hingga kepala dijajar berdekatan. Sementara bagian pinggang hingga kaki berdiri berjauhan. Disini, Yuni sepertinya tampil “nakal” karena retsluiting celana terbuka hingga celana dalamnya terlihat. Patung berjudul "The Fool #1" berukuran 80 x 40 x 30 Cm ini berbahan paper, crome, polymate, zipper, spray on manequin. Karya tubuh Yuni ini dibalut perekat perak yang mempresentasikan rutinitas pada otak saat mengontrol tubuh yang menjadikannya seolah robot. Sementara karya Sekarputri begitu familiar namun tidak biasa. Ruang yang ia ciptakan seolah melipat dimensi fisik dan imajinasi manusia. Sehingga, justru membesarkan nilai kemanusiaan yang dimilikinya dan yang membuatnya bukan robot. Figur yang dihadirkan cukup naif, termasuk ada boneka anak-anak. Karya Agung, yang mengangkat self portrait, sepertinya meninggalkan kesadarannya untuk menjalani perjalanan pada landscape yang berada dalam kepalanya. Karya Agung, sepertinya banyak dilakukan oleh perupa Surabaya. “Saya sudah melakukan karya yang seperti ini sejak beberapa tahun lalu,” komentar pelukis yang juga kurator, Agus Koecing. (Gimo Hadiwibowo/ Surabaya Post, 5 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)